Selasa, 02 Juli 2013

Cerita Pengalaman

Tuhan Itu Baik
“Rima, ayolah kamu ikut!”, kata Alfin memaksaku. Sangat semangat sekali rupanya, padahal aku sudah berkali-kali menolaknya. Yah, bukannya aku tak suka mungkin aku cuma takut kalau aku malah memalukan di perlombaan tersebut. “Aku nggak minat Fin,!”, kataku. “Ayolah aku kurang  1 anggota. Bantu aku lah! ”. “Baiklah, asal Dilla juga harus ikut!” kataku. Akhirnya aku menyerah untuk menolak. Tak apalah, tak ada salahnya juga ikut. Akhirnya Alfin menulis namaku sebagai anggota kelompoknya yang berjumlah 3 orang di sebuah olimpiade tingkat SMP. “Eh Fin, persyaratannya apa saja? Nanti aku siapkan.”, kataku tak ikhlas. “Ya seperti lomba pada umumnya ditambah fotocopy kartu pelajar.” Katanya. “Apa?!? Kartu pelajarku itu hilang, memakai  kartu apa saya?” kataku kaget. “ Hilang? Kenapa kamu nggak bilang. Terakhir mengumpulkan persyaratannya itu lusa, terus namamu juga terlanjur aku kumpulkan ke guru tadi.” Katanya.  “Pakai kartu pelajar orang lain nggak bisa?”,tanyaku.  “Kalau memakai kartu pelajar orang lain ya tidak bisa, namanya kan nama dia. Pokoknya kamu harus ikut.” Aku berpikir keras apa tindak lanjutku nanti. Tiba-tiba muncul di otakku sebuah ide jahat, namun tak masalah jahatnya juga tidak terlalu jahat. Akhirnya aku pergi menuju teman kelas 7 yang wajahnya mirip denganku. “Hei Er, kamu bawa kartu pelajar nggak?" tanyaku. “Kartu pelajarku masih dipakai untuk pinjam buku Rim, kira-kira lusa kembali. Memang ada apa?” katanya. “Tidak ada apa-apa, terima kasih ya Ersa!” kataku langsung beranjak pergi kembali ke kelas. Sesampai di kelas, aku tanya ke teman-teman siapa yang membawa kartu pelajar. Kebetulan yang bawa hanya Diana, padahal bukan dia yang aku harapkan untuk membawa. Lalu aku pinjam saja, daripada tidak ada. Kemudian bel masuk berbunyi pertanda istirahat selesai, dan aku mengikuti pelajaran seperti biasa.
Ketika pelajaran berlangsung aku terus memikirkan cara untuk mengatasi kartu pelajar tersebut. Di tengah pikiranku yang sedang pergi ke mana-mana, Dilla teman sebangkuku bertanya “Eh, kartu pelajarnya Diana mau kamu pakai apa?” “Untuk memenuhi persyaratan perlombaan kita, tahu kan?” jawabku. “Tapi namanya kan beda?”tanyanya lagi.  “Sudahlah, diam saja kau!” kataku.
Bel pulang sekolah berbunyi, aku pun cepat-cepat pulang untuk menjalankan aksiku. Segera aku pergi fotocopy kartu pelajar Diana. Lalu pulang dan menjalankan niat utamaku. Sesampai di rumah, aku  langsung menyalakan komputer dan membuka microsoft word untuk mengetik sesuatu. Lalu kuatur ukuran hurufnya sekecil mungkin dan jenis yang sesuai. Tak lama kemudian aku cetak dan gunting hati-hati. Lalu kutempelkan di fotocopy kartu pelajar Diana tadi dan aku fotocopy lagi. Sehingga jadilah kartu pelajar tiruan karyaku. “Yeah! Akhirnya jadi juga. Tapi sayang fotonya agak mencurigakan. Aku dan Diana beda sekali.”
Keesokan harinya, aku serahkan semua persyaratan pada Alfin. “Nih, persyaratan sudah aku lengkapi.” Kataku. “Terus kartu pelajarmu?” tanyanya. “Sudahlah, lihat saja.” Perintahku misterius. Lalu ia pun melihat dan langsung tertawa. “Haha.. Rima, Rima. Kreatif sekali kau. Ini sebabnya kamu pinjam KTPnya Diana. Sayang fotonya beda jauh dengan kau. Diana terlihat lebih besar dan kau sangat kecil. Rambut Diana berombak, kamu lurus.” “Sudahlah, mana mungkin panitianya lihat satu-satu. Lagian fotonya itu buram akibat efek fotocopy. Kalau ditanya, tinggal bilang kalau ini foto kelas 7 dulu. Gampang kan? “ kataku enteng. Alfin yang masih kaget dengan hasil karyaku memamerkan ke teman 1 kelas, termasuk Diana. Diana yang punya kartu hanya tertawa kecil karena pemalsuan kartu pelajar karyaku. “Sudahlah, tak usah dipermasalahkan lagi. Kepepet ini. Alfin, cepat berikan pada gurunya biar segera dikirim.” Kataku.
Sekarang, tibalah aku, Alfin dan Dilla berangkat lomba. Karena lomba ini di luar bidang sekolah, kami pun harus berangkat sendiri ke daerah pusat kota. Kami sepakat  ke kota naik bus, karena tidak mau merepotkan orangtua. Pukul 05.30 kami sudah berada di depan sekolah untuk mencari bus. Setelah lama menunggu, akhirnya kami mendapat bus yang sesak penumpang. Selama perjalanan, kami bertiga harus berdiri. Dan tanpa sengaja aku menyenggol seorang bapak-bapak garang dari Madura yang sedang menelpon hingga bapak itu melotot dan menggerutu tidak jelas. Kami yang takut segera menjauh darinya. Tidak terasa sampailah kami di halte bus terdekat dari tempat lomba. “Akhirnya sampai juga, tapi tempat lombanya masih jauh nggak?” kata Dilla. “Aku nggak tahu” jawabku. Kemudian Alfin bertanya pada penjual koran, “Pak, SMA INSAN CENDEKIA kira-kira berapa meter dari sini?” “SMA INSAN CENDEKIA? Adik tidak salah? Itu jauh di sana, Dik. Sangat jauh.” Katanya. “Oh, terima kasih Pak!” jawab Alfin. Kami pun terus berjalan menuju arah yang ditunjuk penjual koran tadi. “Wah, ternyata jauh sekali” kata Dilla. “Halah, mungkin dia Hiperbola.” Kataku. Karena aku kurang percaya, aku bertanya pada ibu-ibu yang menyapu. “Bu, SMA INSAN CENDEKIA berapa meter dari sini?” “Jauh, Dik. Biasanya kalau dari Halte, siswa-siswa ke sananya naik angkutan.” Jawab ibu tadi. Lalu aku pun permisi sambil mengucapkan terima kasih pada ibu itu. “Gila, ternyata jauh juga. Kata ibu tadi biasanya ada angkutan, tapi sekarang kok tidak ada ya?” kataku. “Iya nih, kita terpaksa harus jalan sampai ada angkutan lewat.” Kata Alfin. “Yah, kalau tidak dapat angkutan. Bisa-bisa terlambat.” Kata Dilla. “Halah santai saja.” Kataku. Selama perjalanan sambil mencari angkot, kami terus menoleh kanan kiri berharap ada seseorang yang kasihan terhadap kami. Tak terasa, kami sudah mendekati daerah lomba tiba-tiba Dilla berkata, “Itu ada angkot!” “Halah, sedikit lagi sudah sampai. Itu! Sudah terlihat Gedungnya.” Kata Alfin. Semakin dekat, semakin dekat akhirnya kami sampai juga. Sesampai di sana, kami segera mencari tempat istirahat yang strategis yaitu bawah pohon. Tiba-tiba teman satu SMP menghampiri kami. “Hei, naik apa kamu kemari?” tanyanya. “Naik Bus,” Jawab kami singkat. Segera kami hanyut dalam perbincangan tak penting dengannya.
Waktu  perlombaan pun tiba, kami mengerjakan tes babak 1 berjumlah 100 soal yang lumayan membingungkan. Kulihat Alfin yang berpikir keras dan Dilla menulis jawaban yang disampaikan Alfin. Sedangkan aku? Tak tahu harus melakukan apa, hanya diam dan memperhatikan peserta lain yang juga ribut dengan kelompoknya. Agak minder sebenarnya, melihat orang-orang bermata sipit yang terlihat serius mengerjakannya. Yang sudah yakin jika mereka bisa menang. Hingga akhirnya, aku yang berada di antara Dilla dan Alfin menggebrak meja, Brakk.. kulihat semua peserta melihat ke arahku. Aku yang menjadi sorotan hanya pura-pura tak tahu. Alfin dan Dilla yang sedari tadi serius menatap bingung ke arahku. “Sudahlah, ayo dikerjakan lagi.” Kataku sambil mulai mengerjakan sedikit-sedikit.
Bel tanda tes usai berbunyi, kami yang kurang yakin beberapa soal hanya bisa pasrah. “Mudah-mudahan bisa lolos babak selanjutnya.” Kata Alfin yang di amin-i oleh aku dan Dilla. Di luar, kami segera mencari teman satu SMP  untuk berbagi pengalaman mengenai  soal tadi. “Hei Alfin! Bagaimana soalnya tadi?” tanya Bintang. “Nggak 100% yakin! Tapi mudah-mudahan bisa lolos 20 besar.” jawabnya pasrah. Sambil menunggu pengumuman, kami keliling SMA ini. Berharap ada sesuatu yang unik. Hingga akhirnya kami menghampiri bazar buku yang kebetulan ikut berpartisipasi dalam perlombaan ini.
Tiba saatnya pengumuman, aku, Alfin dan Dilla mencari nomor peserta kami di papan pengumuman untuk yang lolos 20 besar. “Alhamdulillah ya Allah, kita lolos! Tuhan memang baik” kata Alfin bangga. Dan kami yang bahagia segera keluar dari kerumunan sesak itu. “Alfin, selamat ya! Bisa lolos dari 300 peserta.” Kata Bintang. “Terima kasih Bintang, jangan kecil hati ya!” kata Alfin. Tiba-tiba pengumuman berbunyi, “Bagi yang lolos 20 besar, diharapkan memasuki ruang 1 untuk mengambil piagam.”  “Alfin, Dilla, ayo kita ke ruang 1” kataku.
Setelah mengambil piagam, kami kembali berkutat dengan soal yang kali ini bilingual. Aku kini turut mengerjakan dengan serius, tidak seperti babak 1 tadi. Di tengah seriusku, bel sisa waktu 15 menit berbunyi. Kami segera berpikir lebih keras lagi dan sebagian mengerjakan dengan suara hati. Untuk babak ke 2, waktu memang cuma 1 jam, sedang kan soalnya berjumlah 50. Sehingga kami hanya memiliki waktu sedikit.
Waktu telah selesai, kami kembali hanya bisa berdoa. Semoga mendapat hasil yang terbaik. Sambil menunggu, kami hanya keliling sekolah itu lagi bagaikan orang hilang. “Aku tak yakin jika bisa lolos 6 besar.” Kataku. “Kenapa? Harus optimis!” kata Alfin. “Tapi yang babak 2 itu soalnya sulit sekali. Selain itu waktunya hanya sedikit.” Kataku. Kulihat Dilla hanya bisa pasrah dengan wajah letihnya. Aku tahu jika dia juga tidak begitu yakin bisa lolos. “Sudahlah, ayo cari tempat duduk.” Kata Dilla lemas. Kami pun segera duduk di kursi depan kelas.
Aku merenung diam, tak mendengarkan apa yang Alfin dan Dilla bicarakan. Ku tolehkan kepalaku ke arah samping, terlihat kakak panitia menghampiriku. “Dik, pengumumannya sudah bisa dilihat di papan.” Katanya sambil tersenyum. Alfin yang mendengar langsung antusias. Aku hanya lemas mengikutinya. Ketika dia melihat papan, wajahnya langsung lemas. Aku tahu apa yang terjadi, tanpa banyak tanya ku ajak dia pulang. “Ayo pulang, sudah hampir sore!”

Kami berjalan kembali menuju halte. Di tengah perjalanan, wajah Alfin terlihat tak bersemangat. Aku hanya diam membiarkannya. “Sudahlah, mungkin ini yang terbaik. Jangan terlalu dipikirkan.” Kata Dilla tiba-tiba. “Tapi itu tadi adalah jalan untuk bisa bersekolah di sana.” Kata Alfin. “Mungkin jalanmu bukan lewat jalur ini, mungkin jalur tes.” Kata Dilla lagi. “Tidak ada manfaatnya, susah-susah kesini tapi tidak mendapat apa-apa.” Kata Alfin lemas. Dan keadaan mendadak hening. Kami berjalan dengan pikiran masing-masing. “Kalau seandainya kamu dulu nggak mengajakku ikut lomba ini, mungkin aku tidak akan kreatif membuat KTP tiruan.” Kataku tiba-tiba sambil menatap lurus. “Kalau kita nggak ikut lomba ini,  tidak akan ada kenangan kita naik bus desak-desakan bersama .” Kata Dilla. “Kita juga tidak akan merasakan susah dan malunya jalan kaki sejauh 2 kilometer di keramaian kota.” Kataku. “Kita juga tidak akan merasakan semangat dan kompaknya kita ketika menjalani sulitnya perjalanan ini.” Kata Dilla. “Tuhan itu baik, karena Tuhan akan memberi kita hikmah di setiap perlakuan kita.” Kataku. “Jadi ayo semangat! Seperti pagi tadi”, teriak Dilla sambil menarik kami berdua berlari menuju halte yang masih cukup jauh.

2 komentar: