Tuhan Itu Baik
“Rima, ayolah kamu
ikut!”, kata Alfin memaksaku. Sangat semangat sekali rupanya, padahal aku sudah
berkali-kali menolaknya. Yah, bukannya aku tak suka mungkin aku cuma takut kalau
aku malah memalukan di perlombaan tersebut. “Aku nggak minat Fin,!”, kataku. “Ayolah
aku kurang 1 anggota. Bantu aku lah! ”.
“Baiklah, asal Dilla juga harus ikut!” kataku. Akhirnya aku menyerah untuk
menolak. Tak apalah, tak ada salahnya juga ikut. Akhirnya Alfin menulis namaku
sebagai anggota kelompoknya yang berjumlah 3 orang di sebuah olimpiade tingkat SMP.
“Eh Fin, persyaratannya apa saja? Nanti aku siapkan.”, kataku tak ikhlas. “Ya
seperti lomba pada umumnya ditambah fotocopy kartu pelajar.” Katanya. “Apa?!?
Kartu pelajarku itu hilang, memakai kartu apa saya?” kataku kaget. “ Hilang?
Kenapa kamu nggak bilang. Terakhir mengumpulkan persyaratannya itu lusa, terus
namamu juga terlanjur aku kumpulkan ke guru tadi.” Katanya. “Pakai kartu pelajar orang lain nggak
bisa?”,tanyaku. “Kalau memakai kartu
pelajar orang lain ya tidak bisa, namanya kan nama dia. Pokoknya kamu harus
ikut.” Aku berpikir keras apa tindak lanjutku nanti. Tiba-tiba muncul di otakku
sebuah ide jahat, namun tak masalah jahatnya juga tidak terlalu jahat. Akhirnya
aku pergi menuju teman kelas 7 yang wajahnya mirip denganku. “Hei Er, kamu bawa
kartu pelajar nggak?" tanyaku. “Kartu pelajarku masih dipakai untuk pinjam
buku Rim, kira-kira lusa kembali. Memang ada apa?” katanya. “Tidak ada apa-apa,
terima kasih ya Ersa!” kataku langsung beranjak pergi kembali ke kelas.
Sesampai di kelas, aku tanya ke teman-teman siapa yang membawa kartu pelajar.
Kebetulan yang bawa hanya Diana, padahal bukan dia yang aku harapkan untuk
membawa. Lalu aku pinjam saja, daripada tidak ada. Kemudian bel masuk berbunyi
pertanda istirahat selesai, dan aku mengikuti pelajaran seperti biasa.
Ketika pelajaran
berlangsung aku terus memikirkan cara untuk mengatasi kartu pelajar tersebut.
Di tengah pikiranku yang sedang pergi ke mana-mana, Dilla teman sebangkuku
bertanya “Eh, kartu pelajarnya Diana mau kamu pakai apa?” “Untuk memenuhi
persyaratan perlombaan kita, tahu kan?” jawabku. “Tapi namanya kan beda?”tanyanya
lagi. “Sudahlah, diam saja kau!” kataku.
Bel pulang sekolah
berbunyi, aku pun cepat-cepat pulang untuk menjalankan aksiku. Segera aku pergi
fotocopy kartu pelajar Diana. Lalu pulang dan menjalankan niat utamaku.
Sesampai di rumah, aku langsung
menyalakan komputer dan membuka microsoft word untuk mengetik sesuatu. Lalu
kuatur ukuran hurufnya sekecil mungkin dan jenis yang sesuai. Tak lama kemudian
aku cetak dan gunting hati-hati. Lalu kutempelkan di fotocopy kartu pelajar
Diana tadi dan aku fotocopy lagi. Sehingga jadilah kartu pelajar tiruan
karyaku. “Yeah! Akhirnya jadi juga. Tapi sayang fotonya agak mencurigakan. Aku
dan Diana beda sekali.”
Keesokan harinya,
aku serahkan semua persyaratan pada Alfin. “Nih, persyaratan sudah aku
lengkapi.” Kataku. “Terus kartu pelajarmu?” tanyanya. “Sudahlah, lihat saja.” Perintahku
misterius. Lalu ia pun melihat dan langsung tertawa. “Haha.. Rima, Rima.
Kreatif sekali kau. Ini sebabnya kamu pinjam KTPnya Diana. Sayang fotonya beda
jauh dengan kau. Diana terlihat lebih besar dan kau sangat kecil. Rambut Diana
berombak, kamu lurus.” “Sudahlah, mana mungkin panitianya lihat satu-satu.
Lagian fotonya itu buram akibat efek fotocopy. Kalau ditanya, tinggal bilang
kalau ini foto kelas 7 dulu. Gampang kan? “ kataku enteng. Alfin yang masih
kaget dengan hasil karyaku memamerkan ke teman 1 kelas, termasuk Diana. Diana
yang punya kartu hanya tertawa kecil karena pemalsuan kartu pelajar karyaku.
“Sudahlah, tak usah dipermasalahkan lagi. Kepepet ini. Alfin, cepat berikan
pada gurunya biar segera dikirim.” Kataku.
Sekarang, tibalah
aku, Alfin dan Dilla berangkat lomba. Karena lomba ini di luar bidang sekolah,
kami pun harus berangkat sendiri ke daerah pusat kota. Kami sepakat ke kota naik bus, karena tidak mau merepotkan
orangtua. Pukul 05.30 kami sudah berada di depan sekolah untuk mencari bus.
Setelah lama menunggu, akhirnya kami mendapat bus yang sesak penumpang. Selama
perjalanan, kami bertiga harus berdiri. Dan tanpa sengaja aku menyenggol
seorang bapak-bapak garang dari Madura yang sedang menelpon hingga bapak itu
melotot dan menggerutu tidak jelas. Kami yang takut segera menjauh darinya.
Tidak terasa sampailah kami di halte bus terdekat dari tempat lomba. “Akhirnya
sampai juga, tapi tempat lombanya masih jauh nggak?” kata Dilla. “Aku nggak
tahu” jawabku. Kemudian Alfin bertanya pada penjual koran, “Pak, SMA INSAN
CENDEKIA kira-kira berapa meter dari sini?” “SMA INSAN CENDEKIA? Adik tidak
salah? Itu jauh di sana, Dik. Sangat jauh.” Katanya. “Oh, terima kasih Pak!”
jawab Alfin. Kami pun terus berjalan menuju arah yang ditunjuk penjual koran
tadi. “Wah, ternyata jauh sekali” kata Dilla. “Halah, mungkin dia Hiperbola.”
Kataku. Karena aku kurang percaya, aku bertanya pada ibu-ibu yang menyapu. “Bu,
SMA INSAN CENDEKIA berapa meter dari sini?” “Jauh, Dik. Biasanya kalau dari
Halte, siswa-siswa ke sananya naik angkutan.” Jawab ibu tadi. Lalu aku pun
permisi sambil mengucapkan terima kasih pada ibu itu. “Gila, ternyata jauh
juga. Kata ibu tadi biasanya ada angkutan, tapi sekarang kok tidak ada ya?”
kataku. “Iya nih, kita terpaksa harus jalan sampai ada angkutan lewat.” Kata
Alfin. “Yah, kalau tidak dapat angkutan. Bisa-bisa terlambat.” Kata Dilla.
“Halah santai saja.” Kataku. Selama perjalanan sambil mencari angkot, kami
terus menoleh kanan kiri berharap ada seseorang yang kasihan terhadap kami. Tak
terasa, kami sudah mendekati daerah lomba tiba-tiba Dilla berkata, “Itu ada
angkot!” “Halah, sedikit lagi sudah sampai. Itu! Sudah terlihat Gedungnya.”
Kata Alfin. Semakin dekat, semakin dekat akhirnya kami sampai juga. Sesampai di
sana, kami segera mencari tempat istirahat yang strategis yaitu bawah pohon.
Tiba-tiba teman satu SMP menghampiri kami. “Hei, naik apa kamu kemari?”
tanyanya. “Naik Bus,” Jawab kami singkat. Segera kami hanyut dalam perbincangan
tak penting dengannya.
Waktu perlombaan pun tiba, kami mengerjakan tes
babak 1 berjumlah 100 soal yang lumayan membingungkan. Kulihat Alfin yang
berpikir keras dan Dilla menulis jawaban yang disampaikan Alfin. Sedangkan aku?
Tak tahu harus melakukan apa, hanya diam dan memperhatikan peserta lain yang
juga ribut dengan kelompoknya. Agak minder sebenarnya, melihat orang-orang
bermata sipit yang terlihat serius mengerjakannya. Yang sudah yakin jika mereka
bisa menang. Hingga akhirnya, aku yang berada di antara Dilla dan Alfin
menggebrak meja, Brakk.. kulihat semua peserta melihat ke arahku. Aku yang
menjadi sorotan hanya pura-pura tak tahu. Alfin dan Dilla yang sedari tadi
serius menatap bingung ke arahku. “Sudahlah, ayo dikerjakan lagi.” Kataku
sambil mulai mengerjakan sedikit-sedikit.
Bel tanda tes usai
berbunyi, kami yang kurang yakin beberapa soal hanya bisa pasrah.
“Mudah-mudahan bisa lolos babak selanjutnya.” Kata Alfin yang di amin-i oleh
aku dan Dilla. Di luar, kami segera mencari teman satu SMP untuk berbagi pengalaman mengenai soal tadi. “Hei Alfin! Bagaimana soalnya
tadi?” tanya Bintang. “Nggak 100% yakin! Tapi mudah-mudahan bisa lolos 20
besar.” jawabnya pasrah. Sambil menunggu pengumuman, kami keliling SMA ini.
Berharap ada sesuatu yang unik. Hingga akhirnya kami menghampiri bazar buku
yang kebetulan ikut berpartisipasi dalam perlombaan ini.
Tiba saatnya
pengumuman, aku, Alfin dan Dilla mencari nomor peserta kami di papan pengumuman
untuk yang lolos 20 besar. “Alhamdulillah ya Allah, kita lolos! Tuhan memang
baik” kata Alfin bangga. Dan kami yang bahagia segera keluar dari kerumunan
sesak itu. “Alfin, selamat ya! Bisa lolos dari 300 peserta.” Kata Bintang.
“Terima kasih Bintang, jangan kecil hati ya!” kata Alfin. Tiba-tiba pengumuman
berbunyi, “Bagi yang lolos 20 besar,
diharapkan memasuki ruang 1 untuk mengambil piagam.” “Alfin, Dilla, ayo kita ke ruang 1”
kataku.
Setelah mengambil piagam,
kami kembali berkutat dengan soal yang kali ini bilingual. Aku kini turut
mengerjakan dengan serius, tidak seperti babak 1 tadi. Di tengah seriusku, bel
sisa waktu 15 menit berbunyi. Kami segera berpikir lebih keras lagi dan
sebagian mengerjakan dengan suara hati. Untuk babak ke 2, waktu memang cuma 1
jam, sedang kan soalnya berjumlah 50. Sehingga kami hanya memiliki waktu
sedikit.
Waktu telah
selesai, kami kembali hanya bisa berdoa. Semoga mendapat hasil yang terbaik.
Sambil menunggu, kami hanya keliling sekolah itu lagi bagaikan orang hilang.
“Aku tak yakin jika bisa lolos 6 besar.” Kataku. “Kenapa? Harus optimis!” kata
Alfin. “Tapi yang babak 2 itu soalnya sulit sekali. Selain itu waktunya hanya
sedikit.” Kataku. Kulihat Dilla hanya bisa pasrah dengan wajah letihnya. Aku
tahu jika dia juga tidak begitu yakin bisa lolos. “Sudahlah, ayo cari tempat
duduk.” Kata Dilla lemas. Kami pun segera duduk di kursi depan kelas.
Aku merenung diam,
tak mendengarkan apa yang Alfin dan Dilla bicarakan. Ku tolehkan kepalaku ke
arah samping, terlihat kakak panitia menghampiriku. “Dik, pengumumannya sudah
bisa dilihat di papan.” Katanya sambil tersenyum. Alfin yang mendengar langsung
antusias. Aku hanya lemas mengikutinya. Ketika dia melihat papan, wajahnya
langsung lemas. Aku tahu apa yang terjadi, tanpa banyak tanya ku ajak dia
pulang. “Ayo pulang, sudah hampir sore!”
Kami berjalan
kembali menuju halte. Di tengah perjalanan, wajah Alfin terlihat tak
bersemangat. Aku hanya diam membiarkannya. “Sudahlah, mungkin ini yang terbaik.
Jangan terlalu dipikirkan.” Kata Dilla tiba-tiba. “Tapi itu tadi adalah jalan
untuk bisa bersekolah di sana.” Kata Alfin. “Mungkin jalanmu bukan lewat jalur
ini, mungkin jalur tes.” Kata Dilla lagi. “Tidak ada manfaatnya, susah-susah
kesini tapi tidak mendapat apa-apa.” Kata Alfin lemas. Dan keadaan mendadak
hening. Kami berjalan dengan pikiran masing-masing. “Kalau seandainya kamu dulu
nggak mengajakku ikut lomba ini, mungkin aku tidak akan kreatif membuat KTP
tiruan.” Kataku tiba-tiba sambil menatap lurus. “Kalau kita nggak ikut lomba
ini, tidak akan ada kenangan kita naik
bus desak-desakan bersama .” Kata Dilla. “Kita juga tidak akan merasakan susah
dan malunya jalan kaki sejauh 2 kilometer di keramaian kota.” Kataku. “Kita
juga tidak akan merasakan semangat dan kompaknya kita ketika menjalani sulitnya
perjalanan ini.” Kata Dilla. “Tuhan itu baik, karena Tuhan akan memberi kita
hikmah di setiap perlakuan kita.” Kataku. “Jadi ayo semangat! Seperti pagi tadi”,
teriak Dilla sambil menarik kami berdua berlari menuju halte yang masih cukup
jauh.
Bagus banget ceritanya
BalasHapusWahh, terima kasih :).
Hapus